Jama'ah Virtual Masjid Sunan Kalijaga

KHUTBAH


1 Syawal 1431 H / 10 September 2010 
Di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta

Jama’ah shalat Idul Fitri yang berbahagia

Marilah kita bersama-sama memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT karena hanya dengan nikmat karuniaNya, kita semua dapat menunaikan ibadah puasa secara paripurna dalam keadaan sehat wal afiat. Salawat dan salam kita limpahkan kepada junjungan Nabi Muhammad SAW..

Dalam kalender kehidupan umat Islam, ibadah atau ritualitas puasa merupakan ibadah/ritual yang paling lama memakan waktu, dibandingkan ibadah-ibadah lainnya. Selama menjalankan ibadah/ritual puasa, manusia Muslim memperoleh beberapa pengalaman moral yang langsung terkait dengan mengasah kepekaan dan kepedulian sosial serta memupuk rasa solidaritas sosial-kemanusiaan. Sedemikian dalamnya, sehingga Allah SWT menjanjikan ampunan dosa bagi yang melakukannya dengan sungguh-sungguh, dengan memperhitungkan moralitas dari ritual puasa. (Ghufira ma taqaddama min dhanbihi wa ma ta’akhkhara).

Namun demikian, tidak mudah bagi seseorang apalagi manusia dalam kelompok atau organisasi untuk memetik sari pati, makna, sisi terdalam dari ibadah/ritual puasa. Sedemikian sulitnya, sampai-sampai Rasulullah perlu menyampaikan peringatan yang cukup tegas kepada umat pengikutnya bahwa tidak semua orang yang telah melakukan puasa serta merta akan dapat memetik buah ibadah puasa. “Banyak orang berpuasa tidak memperolah apa-apa dari puasanya, kecuali hanya lapar dan dahaga” (Kam min saimin laisa lahu min saumihi illa al-ju’ wa al-‘atas).

Dengan begitu, dalam setiap amal ibadah, setiap ritual-keagamaan, disamping ada unsur “optimisme” tetapi juga ada unsur “pesimisme”. Dalam kenyataan hidup sehari-hari, kedua unsur itu memang ada dalam diri seseorang. Ada perasaan besar harap (al-raja), tetapi juga ada perasaan khawatir atau ragu (al-khauf). Untuk itulah, pada akhir ayat yang mewajibkan orang mukmin berpuasa hanya diakhiri dengan sebuah “harapan” (la’ala: la’ala kum tattaqun). Sebuah harapan, semoga dengan ibadah puasa tersebut, seorang mukmin dapat mencapai derajat taqwa yang sesungguhnya. Mengapa? Karena masih banyak cobaan, rintangan dan godaan yang harus dihadapi oleh umat Islam dalam kehidupan sehari-hari diluar bulan puasa, yang dapat menjauhkan mereka dari nilai-nilai, makna terdalam dari ritual puasa yang seharusnya dipetik.

Jama’ah Id yang berbahagia

Abad baru, abad ke 21, membawa tantangan-tantangan baru baik bersifat negatif maupun positif bagi kehidupan manusia. Jika hal-hal yang negatif tidak segera diwaspadai, akan membuat lingkungan hidup di muka planet bumi semakin hari semakin tidak nyaman untuk dihuni. Tanda-tanda kearah itu cukup jelas. Kerusakan lingkungan hidup dan bencana alam ada dimana-mana. Tindakan kekerasan sosial semakin bertambah baik kualitas maupun kuantitas. Bom bunuh diri dianggap hal yang wajar. Merajalela dan tidak dapat dicegahnya tindak korupsi, kolusi dan nepotisme, kemiskinan tampak begitu jelas, rapuhnya kelembagaan keluarga, penyalahgunaan obat-obat terlarang, ketidak saling-kepercayaan (mutual distrust) antar warga, antar kelompok-kelompok sosial, antar kelompok intern umat beragama, antar ekstern umat beragama, melemahnya solidaritas kemanusiaan dan berbagai penyakit sosial lainnya.

Dalam menghadapi situasi pelik demikian, ada pertanyaan yang dilontarkan oleh kita semua dan oleh siapa saja, yang ingin mencermati dan menajami lebih lanjut makna ”keberagamaan” dan makna ibadah puasa Ramadhan, dan sekaligus mengharapkan nilai tambah dan manfaat praktis yang dapat dipetik untuk menjadi panduan etik hidup sehari-hari.

Dalam studi keislaman, selalu dibedakan—meskipun tidak bisa dipisahkan—antara wilayah “doktrin” (yang bercorak tekstual-teologis) dan wilayah “praktis” (yang bersifat fungsional-praktis). Dari segi doktrin atau ajaran, tidak kurang bahan atau dalil yang dapat dijadikan landasan teologis untuk mewajibkan ibadah Ramadhan. Al-Qur’an dengan tegas menjelaskan hal itu dan disertai Hadits-hadits pendukungnya. Tetapi dari segi manfaat dan nilai guna yang bersifat fungsional-praktis, khususnya yang dapat dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, untuk kehidupan sebelas bulan di luar bulan Ramadhan, orang perlu menjelaskan dan mengupasnya lebih lanjut. Setidaknya ada 3 nilai pokok yang dapat dipetik dari ibadah puasa Ramadhan yang dapat dijadikan pedoman etik kehidupan selama 11 bulan yang akan datang.  

Pengendalian emosi dan tindakan irrasional 

Hikmah terbesar yang dapat dipetik dari ibadah puasa adalah terbentuknya kemampuan seseorang baik dalam kapasitasnya sebagai individu, kepala keluarga, maupun sebagai pimpinan organisasi sosial-keagamaan, organisasi sosial-politik dan lain-lain untuk dapat mengendalikan “kepentingan” individu dan kelompok, untuk mengontrol dan mengerem laju tarikan hawa nafsu yang membakar emosi komunalitas di luar batas-batas kewajaran dan destruktif. Dalam 29 hari, umat Islam dilatih secara sungguh-sungguh, untuk dapat mengontrol diri sendiri dan mengendalikan nafsu dengan cara mencegah makan dan minum dari saat imsak sampai terbenamnya matahari. Sayang, kebanyakan orang hanya memahaminya sampai pada batas aturan fikih yang mengatur sah atau tidaknya ibadah puasa. Tidak lebih dari itu. Dan itulah yang dikritik oleh Nabi Muhammad SAW.

Agama Islam sesungguhnya mempunyai cara pandang atau falsafah yang unik di sini. Lagi-lagi, sayangnya cara pandang ini sering dilupakan sehingga tidak bermakna lagi. Tidak selamanya, kebutuhan makan-minum yang halal harus dipenuhi begitu saja, lewat tradisi yang biasa berjalan dalam kehidupan manusia sehari-hari. Menurut pandangan Islam, rutinitas makan dan minum lebih-lebih yang mengandung kalori tinggi, sekali waktu perlu dicegah dan dihindari supaya orang sadar benar tentang “hakekat” hidup yang sesungguhnya. Islam selalu mengajarkan bahwa orang tidak perlu harus selalu “terjebak”, “terbelenggu”, “diperbudak” oleh rutinitas kegiatan makan dan minum yang terjadwal. Manusia sekarang, tanpa disadari sering terjebak pada budaya konsumtif. Lewat ritual/puasa, Islam mengajarkan bahwa orang tidak harus “terbelenggu” dan “terjebak” oleh rutinitas hukum pasar dan rutinitas hukum ekonomi. Sekali waktu, orang harus dapat mengambil jarak, distantiasi, menahan diri, bersikap kritis, dan keluar dari “kebiasaan rutin” dari tradisi budaya konsumerisme-hedonisme yang selalu ditawarkan oleh pasar. 

Orang yang menjalankan ibadah puasa dilatih dan dibiasakan untuk bersikap “kritis” dan ”jeli” dalam melihat semua fenomena kehidupan yang sedang berjalan dan sedang terjadi dalam masyarakat luas. Seseorang dilatih kritis dan introspektif terhadap diri sendiri, kritis terhadap orang lain, teman, seagama, penyelenggara negara, lingkungan dan budaya sekitar pada umumnya.

Generasi muda dan generasi tua bangsa Indonesia sekarang ini sedang dirundung oleh berbagai kerusakan moral. Penyalahgunaan Narkoba (Narkotika, sabu-sabu, minuman oplosan, dan obat-obat terlarang) sedang menjamur diberbagai kota besar, sedang generasi tuanya dihinggapi penyakit KKN (Korupsi, Kolusi dan Nepotisme) yang sangat kronis. Kedua penomena sosial tersebut, tidak lain hanyalah menunjukkan bahwa “ketahanan mental”, ”etos sosial” dan kekuatan moral bangsa Indonesia, memang sangat rapuh, lemah dan tak berdaya. Dalam pergaulan sehari-hari, manusia Muslim tidak lagi mempunyai daya tangkal dan nalar kritis, terhadap lingkungan. Pendidikan dan ajaran-ajaran agama yang terlalu dipahami secara formal-tekstual-lahiriyah, tetapi kurang dikaitkan dan didalami dengan “jiwa”, “makna”, “nilai” dan “spirit” moral-sosial terdalam dari ajaran-ajaran agama Islam, rupanya berakibat pada tatanan kehidupan sosial yang rapuh.

Sikap “kritis” dan “mengambil jarak”, distantiasi dari belenggu dan jebakan rutinitas makan-minum dalam kehidupan sehari-hari begitu mendalam ditanamkan oleh ibadah puasa selama satu bulan penuh. Dari sini, seluruh warga Muslim bersama masyarakat dan seluruh aparat pemerintah diharapkan dapat mengkristalisasikan nilai dan mengambil sikap bersama untuk menanggulangi dan membasmi penyakit mental dan moral yang sedang melilit bangsa yang mengakibatkan krisis multidimensi di tanah air. 

Pertautan antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial.

Falsafah peribadatan Islam, khususnya yang terkait dengan ibadah puasa, menegaskan perlunya dilakukan “turun mesin” (overhauling) kejiwaan, selama 29 hari dalam satu tahun. “Turun mesin” adalah merupakan proses meneliti, memeriksa onderdil dan hal-hal yang rusak dan aus, mengencangkan skrup yang kendor, mengganti alat-alat yang rusak, mengoreksi dan memperbaiki secara total. Pada saat turun mesin, tidak ada lagi yang perlu ditutup-tutupi. Semua harus transparan, rela diperiksa, dikoreksi, dan diperbaiki. Semua peralatan dibongkar, dicek dan diperiksa satu persatu dan kemudian dilakukan perbaikan alat-alat yang rusak, penggantian oli, pengecekan kelayakan rem, pemeriksaan sistem lighting dan begitu seterusnya. Koreksi total ini dibutuhkan untuk menjamin kelancaran dan keselamatan kendaraan itu sendiri dalam menjalankan tugas untuk waktu-waktu berikutnya. 

Ibadah puasa ibarat proses “turun mesin” kejiwaan manusia Muslim, selama satu tahun sekali. Kesediaan untuk melakukan koreksi, introspeksi, kritik, memupuk semangat perbaikan, selalu tercermin dalam menjalankan ibadah puasa. Pengendalian hawa nafsu, pengendalian diri dan jiwa berkorban pada umumnya seperti diungkap diatas, sebenarnya, tidak hanya terfokus pada kehidupan individu. Dataran individu ini pada saatnya, perlu dikaitkan dan diangkat ke level kehidupan sosial dan kepentingan publik. Dimensi ibadah sosial puasa meminta lembaga-lembaga sosial-kemasyarakatan, lembaga-lembaga sosial-keagamaan dan lembaga-lembaga negara untuk tetap selalu menghidupkan semangat social introspection, social critics, social auditing dan social control. Semuanya mengarah kepada penguatan kehidupan kesalehan publik yang lebih nyata dan meluas. 

Ayat-ayat Makkiyah dan Madaniyyah selalu menekankan aspek kepedulian sosial. Makna tazkiyatu al-nafs (penyucian diri), sekarang ini tidak lagi bisa dipahami seperti orang-orang terdahulu memahaminya, yakni dengan cara menarik diri dari pergumulan dan pergulatan sosial-kemasyarakatan. Makna “tazkiyatu al nafs” era kontemporer, sangat terkait dengan keberadaan orang lain, lingkungan hidup, lingkungan sosial sekitar. Zakat, sebagai contoh, selalu terkait dengan keberadaan orang lain. Sesungguhnya, penyucian diri pribadi, ritus-ritus individual, yang tidak punya dampak dan makna sosial, sama sekali-kurang begitu bermakna dalam struktur bangunan pengalaman keagamaan Islam yang otentik.

Dengan lain ungkapan bahwa kesalehan pribadi sangat terkait erat dengan kesalehan sosial. Krisis lingkungan hidup di tanah air adalah cermin dari krisis kepekaan dan kepedulian sosial. Ada korelasi positif antara krisis sosial dan krisis ekonomi. Dampak krisis ekonomi terhadap kehidupan rakyat kecil cukup signifikan, khususnya yang terkait dengan “pendidikan” anak-anak mereka. Gerakan orang tua asuh, rumah singgah, kesetiakawanan sosial, solidaritas sosial perlu terus dipupuk, didorong dan didukung oleh semua pihak. Ada kecenderungan tidak begitu nyaman di tanah air di era reformasi, yaitu menjelmanya gerakan sosial-keagamaan menjadi gerakan sosial-politik. Bahkan ada beberapa ormas agama yang melakukan ”kekerasan” dalam masyarakat, dengan menggunakan dalil-dalil agama. Perlu kesadaran baru dan upaya-upaya yang lebih serius yang dapat menggiring gerakan sosial-keagamaan ke porosnya semula, yaitu gerakan sosial-kemasyarakatan agama yang lebih peduli (care society) terhadap isu-isu lingkungan hidup, sosial, pendidikan, ekonomi dan budaya.

Sejauh manakah ibadah puasa yang dilakukan selama 29 hari berdampak positif dalam membentuk kesalehan pribadi dan memperkokoh kesalehan sosial? Sejauh mana nuansa pemikiran kritis terhadap lingkungan dapat ditumbuh-kembangkan untuk mengurangi gap yang terlalu jauh dalam antara kesalehan pribadi dan kesalehan sosial? Jika memang belum ada atau masih sedikit dampaknya, barangkali memang benar sinyalemen Nabi bahwa banyak orang berpuasa, tetapi mereka tidak memperoleh apa-apa dari puasanya kecuali lapar dan dahaga, lantaran intisari dan hikmah puasa belum mampu menyentuh kesadaran paling dalam umat dan belum mampu pula membentuk sosok pribadi manusia beragama/ beriman yang matang, utuh, tangguh, yang dapat mempertautkan kesalehan individu dan kesalehan sosial dalam kehidupan luas.

Jiwa keagamaan yang inovatif, kreatif dan transformatif.

Kiranya dapat diperoleh kesimpulan bahwa nilai kegunaan praktis ibadah puasa adalah kemampuannya untuk membentuk kepribadian, cara pandang dan semangat keagamaan yang baru, inovatif, kreatif, solutif dan dapat diperbaharui secara terus menerus. Perubahan kualitas hidup beragama yang bersifat menggugah-imperatif dan bersifat positif-agamis, inovatif (mampu memperbaiki dan memperbaharui), kreatif (mampu menciptakan kreasi baru) dan transformatif (dapat berubah) dalam menjalani kehidupan sehari-hari baik dalam kapasitas seseorang sebagai petani, pedagang, guru, dosen, artis, birokrat, pejabat negara, pemimpin masyarakat, pemimpin halaqah-halaqah, juru-juru dakwah, pimpinan usrah-usrah, anggota Dewan Perwakilan Rakyat, ulama, pegawai kantor, mahasiswa, anggota TNI, Polisi, adalah tujuan utama disyari’atkan puasa Ramadhan. Puasa tidak hanya semata-mata sebagai “doktrin” kosong yang harus dijalankan begitu saja, tanpa mengenal makna terdalam serta implikasi dan konsekwensi praktisnya dalam kehidupan konkrit sehari-hari. Ibadah puasa mempunyai fungsi moralitas praktis, akhlaq karimah, budi luhur dan pendidikan keagamaan yang bermuatan nilai-nilai kritis-konstruktif dalam menjalani kehidupan sehari-hari.

Terbentuknya cara berpikir, mentalitas, cara pandang, way of life dan cara hidup keagamaan yang “baru”, setelah mengalami turun mesin selama 29 hari adalah bagian tak terpisahkan dan termasuk tujuan utama disyari’atkan ibadah puasa. “Laisa al-‘id liman labisa al-jadid, wa lakinna al-‘idu liman taqwa hu yazid” (Hari raya Idul Fitri bukan bagi orang-orang yang mengenakan baju baru, tetapi bagi orang-orang yang taqwanya bertambah), yakni bagi orang-orang yang mempunyai kemauan dan semangat untuk terus menerus memperbaiki kehidupan pribadi, keluarga dan sosial-kemasyarakatan, sosial-politik dengan landasan keagamaan yang otentik. Fundamental values (nilai-nilai yang mendasar) dan tujuan pokok ini seringkali tidak tampak dipermukaan, karena tertindih oleh semangat dan sibuknya orang menyiapkan instrumental values berupa makan sahur dan berbuka. Mudah-mudahan dengan mengenal tujuan syar’iy ibadah puasa umat Islam selalu dapat memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup keagamaan sehari-hari dalam masa sebelas bulan yang akan datang. Amin ya Rabbal alamin.

Demikian renungan singkat khutbah hari raya Idul Fitri 1431 H pada pagi hari ini. Sebagai penutup marilah kita panjatkan doa bersama.